Dikisahkan saat Jepang masih menduduki bumi pertiwi
ini. Korban terus berjatuhan akibat keganasan Jepang. Mulai dari bayi sampai
orang yang akan mati rata jadi korban Jepang. Senopati dan Permaisuri pun
tunduk pada perintah Jepang.
Jepang
memborbadir seluruh nusantara. Dari Batavia sampai Irian Jaya semua rata. Istilah
nyaman mungkin sudah hilang dari benak para rakyat Indonesia. Letupan sejata
api pun sudah jadi acara musik setiap harinya.
Indonesia
bukannya hanya berdiam saja, para petinggi bangsa terus menyusun strategi. Saat
ini Indonesia lebih berfokus pada strategi perang geriliya. Indonesia
mengirimkan mata-mata untuk masuk ke barisan tentara Jepang.
Strategi ini cukup
berhasil, tapi seketika hancur saat seorang perwira tinggi Jepang bernama Hiro
Hamada mengetahui strategi ini. Hamada berencana untuk membunuh mata-mata itu.
Tapi tiba-tiba seorang gadis desa berparas cantik menghalangi Hamada. Hamada
hanya diam memangdangi wajah cantik itu.
“Kireii...”
“Kire kire apa tho tuan?
Aku manusia bukan kirek!” [1]
Dalam hati Hamada
kebingungan tentang apa yang sedang dibicarakan gadis itu. Gadis itu terus
menghalangi Hamada untuk membunuh mata-mata tadi. Hamada pun menyerah dan
melepaskan mata-mata tadi dengan syarat gadis itu ikut dengannya dan menjadi
budaknya. Dengan besar hati gadis itu menerima syarat itu dan membiarkan
mata-mata tadi lari.
Gadis itu pun mengikuti
kemana pun Hamada pergi. Hari-harinya dipenuhi dengan kerja keras. Keringat
bagaikan hujan yang mengguyur tubuhnya. Tanpa dia bilang pun tubuhnya sudah
mengisyaratkan bahwa dia sangat tersiksa. Hingga rasa iba dari Hamada mulai
muncul. Hamada mulai penasaran dengan gadis itu.
Hamada mulai
memperhatikan gadis itu. Semakin sering Hamada menyuruhnya namun pekerjaannya
dipermudah dengan tujuan agar Hamada lebih sering memperhatikannya. Hamada
mulai bertanya pada gadis itu.
“Hei Nona, Anda sudah
lama bekerja pada saya tapi saya tidak tau nama Anda. Siapakah nama Anda?”
“Naa mmaku..”
“Hei kau sopanlah
dengan Tuan Hamada!” bentak bawahan Hamada.
“Sudahlah Takeshi
biarkan gadis ini bicara”
“Nama saya Dini, Tuan.”
Hamada semakin tertarik
dengan Dini. Hamada mulai sering memanggilnya. Sesekali juga Hamada mengajak
Dini keliling. Dini menganggap jalan-jalan itu hanya untuk menemani tuannya
patroli. Berbeda dengan Hamada, mulai tumbuh benih cinta pada Hamada.
Pernah Hamada mengajak
Dini untuk mengunjungi rumahnya. Disana Dini sangat bahagia karena bisa bertemu
dengan keluarganya terutama ibunya. Dini sangat menyayangi ibunya begitu pula
ibunya. Tapi pertemuan itu hanya sesaat. Dini harus ikut kembali bersama
Hamada. Ibu Dini memegang erat tangan Dini.
“Din, jangan pergi
lagi” rintih ibunya.
“Maaf Bu, ini sudah
tanggung jawab Dini, Bu..”
“Tuan.. Tuan.. tolong
kembalikan Dini..” ibu Dini sambil bersujud di depan Hamada.
“Maaf Nona, tentu tidak
bisa. Ini sudah keputusan Dini untuk ikut Saya.”
Hamada dan Dini kembali
ke rumah Hamada. Hari-hari yang melelahkan bagi Dini pun kembali lagi.
Sedangkan Hamada semakin suka dengan Dini. Sering kali Hamada memberi hadiah
pada Dini namun sering kali ditolak Dini.
Seiring waktu Hamada
semakin perhatian sifat kaku Dini pun mulai luluh, Dini pun mulai tertarik pada
Hamada. Semakin sering mereka bersama semakin erat pula hubungan mereka.
Tapi semua ini tak
seperti yang mereka harapkan. Hubungan mereka tercium oleh atasan Hamada. Dia
menunjuk orang untuk meluluh lantahkan kampung halaman Dini. Tak sampai situ
saja, Hamada diasingkan ke tempat terpencil. Kini Dini menjadi budak atasan
Hamada.
Hamada tidak patah
arang ia membebaskan dirinya lalu menuju markas atasannya dan berniat membunuh
atasannya. Pertumpahan darah pun tak terelakkan. Hamada menang namun menjadi
target buronan pemerintah Jepang.
Hamada bersama Dini
kemudian lari ke tempat terpencil agar Jepang tidak bisa menemukan mereka.
Mereka menemukan sebuah goa di bawah tanah. Mereka hidup disana dengan aman.
Tapi akhir-akhir ini Dini bersikap aneh, ia selalu membayangkan keluarganya
yang dibunuh para tentara Jepang. Dini ingin membalas itu semua.
Sampai pada suatu malam
saat Hamada sedang santai. Dini menghampirinya.
“Hamada-san bolehkah
saya mengatakan sesuatu?” lirih Dini.
“Apakah itu yang akan
kau katakan?”
Kemudian Hamada
menghampiri Dini dengan menjulurkan tangan bermaksud untuk memeluk hangat Dini.
Dini tidak menolak namun tanpa disangka Dini menusukkan pisau tepat di jantung
Hamada.
“Hee eii.. apa yang kau
lakukan?” rintih Hamada.
“Maaf tuan, seluruh
keluargaku dibunuh oleh Jepang, itu sama saja dibunuh oleh Anda. Anda pasti tau
rasanya”
“Taa pii..” sebelum
selesai bicara Hamada sudah terlebih dulu meninggal.
“Maafkan saya tuan saya
tidak bisa hidup dengan orang yang telah membunuh keluarga saya. Saya juga akan
menyusul keluarga saya”
Akhirnya Dini juga
menancapkan pisau itu ke jantungnya. Sebenarnya Dini dari awal juga sudah
berjanji pada keluarganya jika ia takkan berkeluarga dengan Hamada yang tidak
lain adalah tentara Jepang.
Kini janji yang dulu ia
buat sudah ia tepati. Saat berkunjung beberapa kali berkunjung ke rumahnya Dini
pun melanjutkan tugas mata-mata yang ia selamatkan yaitu membagi rahasia Jepang
kepada keluarganya untuk disampaikan ke pemerintah Indonesia. Sungguh Dini
sangat berjiwa nasionalisme. Hingga kini setelah ia mati Jepang berhasil diusir
dari kampungnya berkat usaha Dini.
No comments:
Post a Comment