Cerita sini yukk..

Full width home advertisement

Post Page Advertisement [Top]

            Semua berawal ketika ku teguk perlahan kopiku. Aku yang dulu bermetamorfosis menjadi manusia yang baru. Terima kasih masa lalu—Mantan Saya (ditulis dengan kata ganti “saya” untuk memerjelas kepemilikanku, dulu).
            Bukan siang yang istimewa namun tiba-tiba saja ingin mengunjungi kedai kopi yang biasanya aku mampir ketika lelah seharian berkegiatan. Alasannya sederhana, aku ingin menyelesaikan novel yang ku beli tapi baru sempat terbaca setengah buku saja. Cappuccino. Pilihanku siang ini, tidak terlalu berat, karena aku hanya ingin menyelesaikan novel yang sedang ku baca.
            Pojokan kedai selalu jadi pilihan. Tidak terasa panas walaupun siang ini sangatlah panas. Mungkin karena desain kedai yang seperti rumah adat Jawa—Joglo. Siang itu kedai tidak terlalu ramai, sangat cocok untuk menyelesaikan novel ini. Kopiku tiba dan ku sruput kopiku. Seakan tidak peduli dengan pengunjung yang lain tanpa sadar sudah ku angkat satu kakiku di kursi dan mulai membaca novel yang ingin ku selesaikan.
            Biasanya aku tidak pernah peduli dengan keadaan sekitar saat di kedai. Namun kali ini beda, pandanganku teralih seketika saat seorang wanita masuk ke kedai. Mungkin karena dia tiba-tiba duduk di depanku, padahal banyak kursi yang kosong namun entah kenapa dia memilih kursi di depanku. Kita memiliki posisi favorit yang sama di kedai ini, mungkin. Dia juga memesan cappuccino dan membuka novel yang ia bawa dan ia buka bagian tengah buku yang sudah ia tandai. Membeku. Pandanganku seakan beku menatapnya. Kita berdua hanya diam tanpa sepatah kata, namun kadang sesekali aku menatapnya. Ia juga tidak ada niatan bicara padaku. Sempat ia menutup novelnya dan bicara hanya saat barista dating membawakan kopinya.
Sama ya ternyata”.
Hahh?” balasku.
Iya, sama-sama cappuccino
Hanya itu saja obrolan kami berdua sebelum ia memulai membaca novelnya. Ingin rasanya aku menegur untuk melanjutkan obrolan namun bibir ini tak mau bergerak sedikitpun. Sampai kopi kami habis dan sampai novel kami berdua habis terbaca sampai saat itu kami tidak bicara sama sekali dan pergi dari kedai itu bersamaan.
            Aku memilih untuk pulang, entah ia akan pergi ke mana yang jelas kami searah saat meninggalkan kedai itu. Namun kami berpisah saat aku berhenti untuk menerima telfon. Ku angkat telfon itu namun tiba-tiba saja mati, entah telfon dari siapa nomor itu belum tersimpan di handphoneku.
            Besoknya aku ke kedai itu lagi untuk menyelesikan novel yang lainnya. Entah mengapa aku lebih suka membaca di kedai padahal di rumah aku pun punya banyak waktu luang. Salah satu alasannya mungkin karena keadaan kedai itu yang sangat pas untuk membuka pikiran.
            Wanita itu datang ke kedai itu lagi dan membawa novel baru yang mungkin ingin ia baca pula. Sama seperti biasa, ia tak banyak bicara. Namun kali ini ia tidak memesan apapun. Mungkin ia juga sudah biasa kesini jadi barista kedai itu pun tidak protes walaupun ia datang tanpa memesan sesuatu. Selalu pandanganku teralih ketika ia di duduk di depanku. Wajahnya selalu mengingatkan keadaan masa lalu yang sebenarnya bagiku sudah biasa saja, namun semenjak aku melihat wanita ini aku selalu mengenang masa laluku, dan selalu terasa special saat terkenang.
Kamu sekarang lebih suka dipanggil can, bukan?
Hahh bagaimana kamu tahu namaku?” balasku.
Karena kamu selalu menceritakannya padaku
Ia bicara kepadaku seakan kami sudah mengenal lama. Obrolan kita sangatlah paradoks. Kenyataannya aku mengenal ia baru kemarin dan itu pun tanpa bicara apapun. Namun memang akhir-akhir ini aku lebih suka dipanggil ‘acan’ karena itu nama spesial yang ku dapat dari masa lalu—yang ahh tidak ingin ku bicarakan—Mantan Saya. Lalu wanita itu menyanyakan sebuah hal yang semakin membuatnya misterius dan semakin membuatku penasaran.
Bagaimana kabarmu setelah putus dengan dia?
Manusia spesies apa yang tidak bingung ketika masa lalunya diketahui oleh orang yang baru ia kenal? Selama sepuluh menit kami hanya saling menatap tanpa bicara, tanpa membaca novel kami yang sekarang novelku itu sudah ku tutup dan ku genggam sejak ia menyanyakan hal itu.
            Kamu suka menggambar, namun kamu tidak pernah puas dengan karyamu walau temanmu memuji bahwa gambarmu luar biasa. Sama seperti perbuatanmu terhadap wanita lain setelah kamu putus. Kamu sakiti hati mereka dan kamu tidak pernah puas walaupun perbuatanmu sangat biadab. Apa yang ingin kamu banggakan dari semua itu? Kamu berharap mantanmu itu melihatmu dan menyesal membuatmu patah hati? Tidak akan pernah ia menyesal melihatmu yang seperti ini. Ia malah akan bersyukur belum sempat kamu sakiti. Aku adalah kamu yang saat ini, kamu yang kemarin, kamu di esok hari. Aku adalah dirimu yang kamu ciptakan di benakmu sendiri ketika kamu sedang berpikir. Aku adalah kamu di dunia paralel. Kamu disini merasakan bahagia sedangkan aku disana merasa sedih. Jika cut and paste itu nyata, ingin rasanya ku beri tahu kamu rasa yang ku rasakan saat berada di dunia paralel dan ku berikan kepadamu. Namun ada yang beda, disana hatiku begitu hangat sampai bias merasakan perasaan hati semua orang, yang artinya disini hatimu sedang beku dan tidak bias merasa apapun. Bukalah hatimu kembali. Aku tahu kamu sangat terpuruk namun tak perlulah kamu membekukan hatimu seperti ini. Banyak orang yang peduli denganmu namun tanpa kamu sadari banyak pula yang pergi karena ulahmu sendiri. Lihat sekelilingmu, banyak bukan?
            Benar, banyak orang yang peduli padaku.

            Obrolan itu berakhir saat ku teguk perlahan kopiku. Aku bermetamorfosis menjadi manusia baru.

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]